Kampung Mahmud diperkirakan sudah ada sejak akhir abad ke -18. Pada awal masa “Jalan Raya Pos”, kampung tersebut belum termasuk ke dalam Wilayah Ujungberung (setelah diberlakukannya pemerintahan distrik, kampung tersebut masuk di bawah pemerintahan Onderdistrik Bojongasi, Distrik Ujungberung Kulon). Ternyata keberadaaan para pendiri kampung telah menjadi inspirator bagi pendatang dari Priangan Timur, khususnya mereka yang datang dari Tasikmalaya dan Garut, untuk masuk ke Wilayah Ujungberung dan menatap di sekitar Rawa Gegerhanjuang.
Secara administratif saat ini Kampung Mahmud termasuk ke dalam Desa Mekarrahayu, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung. Lokasinya berada di RW 04, dengan hanya dua RT di dalamnya, yakni RT 01 dan RT 02.
Mengenali Kampung Mahmud cukup mudah, karena sebelum masuk ke areal kampung terdapat gerbang gapura bertuliskan “Makom Mahmud”. Karena di dalam kampung tersebut kita akan menemukan tiga buah makam keramat pendiri kampung, yakni Eyang Haji Dalem Abdul Manap serta dua orang kepercayaannya yakni Eyang Agung Zaenal Arifin dan Eyang Abdullah Gedug. Letak masing-masing makam agak terpisah, tapi masih dalam satu kompleks. Makam Eyang Haji Dalem Manap terdapat di komplek makam utama, sedangkan kedua makam lainnya berada sekitar 100 meter dari letak komplek makam utama.
Kampung Mahmud menempati lokasi yang terpisah dengan perkampungan Iainnya. Batas-batas yang mengelilingi Kampung Mahmud adalah Sungai Citarum. Tepatnya, batas Kampung Mahmud di sebelah barat, selatan, dan timur adalah Sungai Citarum lama. Adapun di sebelah utara, berbatasan dengan Sungai Citarum baru.
Kampung Mahmud juga menempati satu dataran yang agak rendah (lengkob, bhs. Sunda). Meskipun demikian, tempat tersebut tidak pemah mengalami banjir. Dalam pandangan masyarakat Mahmud, itu berkat tuah atau barokah dari tanah karomah yang menjadi asal-usul kampung tersebut.
Kondisi geografis seperti itu tidak menutup peluang warga Mahmud saat ini untuk berkomunikasi dengan orang luar kampung. Pertama, adanya sarana transportasi berupa jembatan kokoh di atas Sungai Citanam yang mempermudah keluar masuknya berbagai alat transportasi ke tempat tersebut. Kedua, media komunikasi berupa telepon pun sudah mulai masuk. Dengan demikian, mudah bagi mereka menjalin komunikasi dengan dunia luar. Dalam hal ini, termasuk juga mengenal dunia luar melalui media elektronik seperti
Radio dan televisi; juga media cetak seperti surat kabar, majalah, atau buku. Selain itu, mereka sudah terbiasa dengan kunjungan para peziarah dari daerah lain.
Siapa sebenarnya Syekh Abdul Manap alias Eyang Haji Dalem Abdul Manap Mahmud itu? Menurut Buku “Sejarah Kabupaten Bandung”, 1970: 41-42, dijelaskan bahwa, saat tentara Mataram dibawah pimpinan Tumenggung Bhahureksa menyerbu Tatar Ukur untuk menangkap Dipati Ukur, salah seorang putera Dipati Ukur yang bernama Dalem Nayasari atau Mudian Gede dapat meloloskan diri ke Timbanganten. Di tempat tinggal barunya itu ia dikaruniai seorang putera yang diberi nama Dalam Salayaderega atau Dalem Nayadirega yang kelak terkenal sebagai Embah Dalem Paneger. Ketika wafat, ia dimakamkan di Sentakdulang, Kecamatan Cicadas. Embah Dalem Paneger berputera Embah Dalem Kyai Haji Abdul Manap yang kelak terkenal sebagai ulama besar yang mempunyai santri dengan jumlah banyak. Setelah dewasa ia berkesempatan menunaikan ibadah haji ke Mekah. Sepulang dari tanh suci ia mendirikan sebuah kampong yang diberi nama “Kampung Mahmud” (“Mahmud” berarti “suci/bersih”) Setelah meninggal dia dimakamkan di kampung tersebut (Mahmud’il-Bandar) yang terletak di tepian Sungai Citarum. Keturunan dari Kyai Haji Abdul Manap Mahmud sampai kini menjadi ulama-ulama terkenal di Cigondewah dan Sukapakir.
Pantangan Adat
“Dulu di sini Eyang Haji sempat menanamkan sekepal tanah yang dibawa langsung dari Mekkah. Di tempat tanah Mekkah yang ditanam itulah Eyang Haji menempatkan 40 jin pengikutnya untuk menjaga agar kampung itu tidak bisa dijahili orang. Bahkan diceritakan, di masa lalu wilayah ini tidak pernah ditemukan oleh pihak penjajah. Sehingga kampung ini dijadikan tempat persembunyian,” tutur H. Syafei, tokoh masyarakat Kampung Mahmud, yang masih keturunan Eyang Abdul Manaf.
Sebagai tempat persembunyian dari incaran penjajah, Eyang Abdul Manaf menerapkan beberapa aturan yang harus dipatuhi warganya. Antara lain dilarang membangun gedong (rumah dari tembok), apalagi memakai kaca. Dilarang menggali sumur. Dilarang menabuh bedug, memelihara angsa, serta dilarang menyelenggarakan pertunjukan yang didalamnya ada perangkat gamelan berupa goong. SEhingga jangan heran bila di wilayah Kampung Mahmud tidak pernah ditemukan ada pertunjukan wayang, jaipong dan sejenisnya.
Menurut H. Syafei, nama Mahmud sendiri berarti yang dipuji. Hanya saja, H Syafei menyayangkan kini perilaku warga Kampung Mahmud ada yang tidak terpuji. Terbukti ada diantara mereka yang berani melanggar pantangan adat seperti mendirikan rumah dari tembok secara berlebihan. “Hal ini mungkin karena pengaruh perkembangan zaman dan bukti mulai lunturnya nilai-nilai peninggalan leluhur,” katanya.
Ramai Peziarah
Di Kampung Mahmud terdapat sejumlah makam yang dikeramatkan warga. Beberapa makam seringkali diserbu para peziarah dan berharap berkahnya. Bahkan tidak sedikit peziarah yang datang dari jauh dan menginap di sana. Biasanya peziarah akan membludak pada sepanjang bulan Maulud, puncaknya pada malam Jumat Kliwon. Sebagai gambaran, ketika hari itu tiba, keadaan Kampung Mahmud bagaikan pasar malam. Konon, ada keyakinan bila pada saat-saat tersebut, para leluhur datang dan berkumpul untuk mengamini segala harapan yang disampaikan.
Daya tarik peziarah selain untuk bermunajat di makam-makam leluhur, mereka juga percaya kekeramatan Kampung Mahmud. Bahwa di kampung itu masih terdapat pantang adat yang bila dilanggar maka bisa menimbulkan petaka. Selain itu, Kampung Mahmud juga dianggap sebagai wilayah “ajaib” karena tidak pernah tersentuh banjir, meskipun di lingkari Sungai Citarum yang sering meluap bila musim hujan tiba.
Menurut cerita, hal itu dikarenakan Eyang Haji sempat menugaskan murid kesayangannya bernama Abdullah Gelung. Ia seorang tokoh sakti yang pernah melakoni tapa brata selama 33 tahun di 33 gunung besar di seantero tanah Jawa. Tujuannya untuk untuk melindungi seluruh warga kampung dari ancaman banjir. Dan terbukti hingga saat ini air bah tidak sampai menjilat Kampung Mahmud.
Selain itu, Eyang Haji juga memiliki seorang murid dari bangsa jin yang bernama Raden Kalung Bimanagara. Sosoknya terkadang menampakkan diri dengan wujud lelaki berwajah ganteng dan berbadan ular berwarna keemasan. Tugas Raden Kalung adalah untuk melindungi keturunan Eyang Haji yang tercebur ke dalam sungai Citarum. Menurut warga setempat, tidak ada orang yang berani melihat penampakannya. Dan juga tidak sembarang orang bisa mengundang kehadirannya.
Keanehan lain Kampung Mahmud adalah ketika air sungai Citarum mulai tercemar dan tidak sehat lagi untuk dikonsumsi. Ketika itu, Eyang Haji memberikan izin kepada warganya untuk membuat sumur. Awalnya, warga yang mencoba menggali sumur tidak pernah mendapati adanya mata air. Padahal galian telah demikian dalam. Hal ini sempat dicoba di beberapa tempat, tapi tidak berhasil.
Akhirnya Eyang Haji bermunajat kepada Allah SWT dan memohon agar diberikan air untuk memenuhi kebutuhan hidup warganya. Tidak lupa Eyang Haji juga memohon restu kepada karuhun agar diperkenankan membuat sumur meski hal itu merupakan pelanggaran adat. Setelah melakukan hal itu, keanehan pun terjadi. Lubang galian sumur yang semula dibiarkan terebengkalai, mendadak mengeluarkan air.
Lokasi kampung yang berada di pinggir Sungai Citarum dipandang cukup strategis. Hingga awal abad ke-19, di Kabupaten Bandung, lalu lintas air melalui sungai masih memegang peranan penting sebagai penghubung antar kampung satu dengan yang lainnya. Apalagi secara geografis, kampung tersebut letaknya tidak terlalu jauh dari Ibukota Kabupaten Bandung, yang waktu itu masih berada di Krapyak (Dayeuhkolot), di antara pertemuan dua sungai besar, yakni Sungai Citarum dan Cikapundung. Bahkan konon, Bupati Bandung R.A. Wiranatakoesoemah II (1794-1829), sempat pula hilir mudik dengan menggunakan perahu dari Krapyak hingga hulu Sungai Cikapundung dengan menggunakan perahu dalam usahanya mencari daerah untuk lokasi pemindahan Ibukota Kabupaten Bandung.
Pada saat awal pendirian kampung tersebut, banyak kegiatan yang terlarang dilakukan oleh penduduk kampung, seperti membuat sumur, menyalakan penerang, membunyikan alat-alat musik termasuk bedug, memiliki perlengkapan meubel rumah tangga, tidak memiliki jendela berdinding kaca, memelihara angsa, dsb. Namun seiring dengan perkembangan jaman dan terjadinya pergeseran nilai di tengah masyarakat kampung, larangan itu sebagian sudah mulai ditinggalkan.
Kini warga kampung berusaha untuk terus mempertahankan keaslian dan keasrian lingkungan sekitar kampung tersebut. Itu dapat terlihat dengan jelas pada bangunan-bangunan seperti rumah, mesjid, langgar, komplek makam, yang semuanya masih dibuat dengan gaya arsitektur bangunan tradisional sunda. Bangunan-bangunan tersebut dibuat dengan menggunakan bahan kayu serta berdinding anyaman bambu (bilik, bhs. sunda).
SILSILAH DIPATI UKUR MENURUT MANGLE ARUM
Sunan Jambu Karang
dari Kerajaan Jambu
Karang. (Purbalingga,
Banyumas sekarang), masih
beragama Budha
Abdurakhman al-Qadri
atau Pangeran Atas Angin
(menantu berdarah Arab )
Pangeran Cahya Luhur
Pangeran Adipati Cahyana
Wangsanata
Diasingkan ke Tatar Ukur
setelah Kerajaan Jambu
Karang jatuh dalam
kekuasaan Sutawijaya,
dari Kerajaan Mataram.
Kemudian dia menikah
dengan Nyi Gedeng Ukur
puteri Adipati Ukur Gede,
penguasa Tatar Ukur
keturunan Pajajaran.
Setelah menggantikan
mertuanya, Pangeran
Wangsanata bergelar
Dipati Ukur
Mudian Gede
Dalem Nayadirega
Dalem Abdul Manap
Rabu, 04 Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar